Selasa, 17 Desember 2013

Sejarah Jamu

Penjual jamu di pasar Yogyakarta. Foto kolèksi Tropenmuseum (1910-1930). 
 
Pengobatan herbal dengan memanfaatkan khasiat dari tumbuh-tumbuhan telah dikenal masyarakat Indonesia secara turun-temurun. Pada perkembangannya, masyarakat Indonesia lebih mengenal pengobatan herbal dengan istilah jamu. Bahan untuk pengobatan tradisional ini terbuat dari bagian tanaman yang dipercaya memiliki khasiat, seperti akar, daun, buah, biji, dan kulit kayu. Bermacam jenis tanaman tadi ada yang diolah dengan dimasak dan ada juga yang langsung digunakan tanpa dimasak. Karena bahan-bahan yang dipakai langsung berasal dari alam, jamu dipercaya tidak memiliki efek samping. Bahkan untuk mengkonsumsinya biaya yang dikeluarkan relatif murah. Karena bahan-bahan pembuatannya banyak tersedia disekitar kita. 

Jika ditinjau dari segi bahasa, jamu adalah sebuah kata yang biasa dipakai masyarakat Jawa untuk menyebut metode pengobatan herbal. Tidak ada yang dapat memastikan, kapan pertama kali tradisi meracik dan meminum jamu muncul. Tetapi dipercaya sudah ada sejak periode kerajaan Hindu di Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Madhawapura dari zaman Majapahit. Dalam prasasti itu menyebutkan adanya suatu profesiì Tukang Meracik jamu yang disebut juga Acaraki. Seorang empu bernama Ra Tanca atau Prapanca, adalah salah satu ahli pengobatan yang sangat terkenal kala itu.

Sunan Paku Buwono X pernah mengumpulkan dan menuliskan kembali resep-resep jamu tradional Jawa dalam sebuah buku yang berjudul Serat Husada. Raja Kraton Surakarta yang bertahta hingga tahun 1939 ini menjelaskan para ahli pengobatan zaman dahulu menggunakan resep yang terbuat dari daun, akar dan umbi-umbian untuk mendapatkan kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit. Selain itu mereka juga meracik jamu untuk perawatan kecantikan wajah maupun tubuh secara keseluruhan.

Namun pada masa itu para pengusaha jamu biasanya sangat sulit berbagai resep kepada masyarakat umum. Apalagi media penyebarannya sangat terbatas. Karena itulah para ahli pengobatan, dukun, maupun tabib selalu belajar dengan cermat kepada ahli-ahli perjamuan di lingkungan istana. Hingga permulaan abad ke-20 tradisi tersebut masih menjadi sesuatu yang eksklusif.

Tetapi seiring perkembangan jaman, orang-orang dilingkungan keraton yang sudah berpikiran modern, mulai mengajarkan cara meracik jamu kepada masyarakat diluar keraton. Hingga saat ini jamu terus berkembang tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara, membuka Gerakan Kebangkitan Jamu Indonesia dan Pembukaan Symposium Internasional Pertama Temu Lawak pada tanggal 27 Mei 2008 di Istana Negara. Sumber : http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2008/05/27/3104.html

Penelitian tentang jamu Indonesia telah dilakukan oleh Rumphius , seorang botanis yang hidup pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia yaitu tahun 1775 Masehi. Ia menerbitkan buku berjudul 'Herbaria Amboinesis'. Sebuah penelitian sains terhadap jamu, Pusat Penelitian Pengobatan Herbal di Taman Botani Bogor. Yang hasil akhirnya adalah diterbitkannya buku berjudul 'Medical Book for Children and Adults' (Buku Kesehatan bagi Anak dan Orang Dewasa), yang disusun oleh E. Van Bent .

Seminar pertama kali tentang jamu di Indonesia diadakan di Solo pada tahun 1940, diteruskan oleh gabungan organisasi-organisasi Jamu Indonesia di tahun 1944. Pada tahun 1966, seminar tentang jamu diadakan lagi di kota Solo. Kemudian pada tahun 1981, sebuah buku berjudul 'The use of Medical Plants' (Kegunaan Tanaman Obat) dibuat untuk mensupport (membantu) industri jamu di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar